Ada 2 tipe paling umum dari mahasiswa di semester 2. Pertama, mereka yang ipk nya diatas 3 dan berniat menjaga nilai-nilainya. Kedua, mereka yang ipk nya dibawah 3 dan selalu memotivasi diri dengan kata-kata "Ah, Sudahlah, nilai itu nggak menentukan apa-apa".
Menurut gue, kalimat "Ah, Sudahlah, nilai itu nggak menentukan apa-apa" adalah kalimat yang sangat pesimistis. Nilai mungkin memang nggak menentukan masa depan, tapi bukan berarti nggak menentukan apa-apa. Karena ya bisa dibilang, ipk itu merepresentasikan intelektualitas kita sebagai mahasiswa. Nggak usah tinggi-tinggi amat sampe mentok 4, tapi ya paling enggak jangan rendah-rendah amat juga, bertanggung jawab sedikit gitu loh. Kan baru semester satu boy..
Dengan ipk yang cukup gurih di semester satu, gue dapat menyimpulkan kalau gue berada di jurusan yang tepat. Ternyata, selain ilmu politik, hobi menulis itu kepake banget di jurusan Hubungan Internasional ini. Karena yang namanya essay itu bisa dibilang adalah makanan sehari-hari. Asik deh, pokoknya. Untuk 'mengamankan' nilai, sebulan belakangan ini gue lagi berusaha untuk memecahkan tantangan dari salah seorang dosen. Tantangannya adalah.. kolom opini Harian Kompas.
Salah seorang dosen gue di semester 2 memberi tantangan kepada mahasiswa-mahasiswinya. Buat yang tulisan opininya bisa dimuat beberapa harian tertentu kayak Kompas dan Jakarta Post, maka nilai ujian dan tugasnya bakalan dikasih "A" secara cumi-cumi. Dengan motivasi memburu nilai A secara cumi-cumi, sebulan belakangan ini gue lagi gencar-gencarnya mengirim tulisan ke email opini kompas. Sebenarnya pilihannya nggak cuma opini Kompas, tapi apa daya, intuisi ini menginginkan opini Kompas.
Ternyata, nulis opini buat koran itu rumit. Lebih konfliktual daripada yang dibayangkan sebelumnya. Padahal, telah ku rangkai kata-kata interpretasi ku dengan ditemani sinar rembulan dan secangkir kopi berampas agar tetap terjaga di malam hari. Tapi Bapak/Ibu redaksi masih berkeras hati dan mengembalikan tulisan ini. Beberapa waktu belakangan ini mungkin sudah sekitar 8 tulisan opini politik yang gue kirim.
Kolom Opini Kompas itu ternyata jauh lebih horror dari yang dibayangkan. Kabarnya, tiap hari ada sekitar 70-80 tulisan yang dikirm dan biasanya yang ngirim itu adalah.. dosen, sejarahwan, politikus, dan intelektual-intelektual politik lainnya. Pantas lah, dosen gue ini berani ngasih tantangan begitu, ya.
Walaupun dikembalikan, seenggaknya dibalas sama kompasnya itu sendiri sudah cukup melegakan hati. Karena nggak semua email bakalan dibalas, cuma yang memenuhi syarat yang bakal dibaca dan dibalas, katanya sih begitu. Dari 9 email kiriman gue, ada 6 yang dibalas. Tiga dibilang kurang redaksional, satu dibilang sudah ada titipan, dan satu dibilang kesulitan mendapat tempat, dan ada juga yang dibilang kurang urgen. Seenggaknya, itu berarti ada beberapa tulisan gue yang sudah memenuhi syarat dan ketentuan dari keinginan Harian Kompas itu sendiri.
Karena gue tetap ingin mengamankan nilai dan memburu nilai "A" selama masih ada waktu, permainan dengan intelektualitas harus dilakukan. Dari beberapa tulisan yang dikembalikan itu, gue tinjau kenapa tulisan tersebut bisa dikatakan memenuhi syarat dan kenapa tulisan lainnya nggak memenuhi syarat. Semua elemen gue tinjau baik dari struktur, sampai penyampaiannya. Ternyata, mayoritas dari kelima tulisan yang dikembalikan itu memiliki beberapa kesamaan: Total kata pas 700 kata, judulnya singkat tapi jelas, dan pastinya semua opini harus disangkutpautkan dengan Indonesia.
Karena kolom opini yang diincar adalah opini yang 700 kata, maka mungkin jumlah katanya harus pas 700 kata termasuk dengan judulnya. Judulnya sendiri setelah diamat-amati cuma terdiri dari 2-5 kalimat, dan pastinya harus membahas soal Indonesia. Seenggaknya, gue sudah menemukan syarat-syarat utamanya. Permasalahan selanjutnya adalah mengidentifikasi kenapa tulisan ini masih belum bisa dimuat juga. Alasan pertama mungkin memang karena kualitas tulisan masih belum layak. Tapi, Siapa yang tau kalau ada hal lain dibalik itu semua..
Setelah melakukan penyelidikan dengan jurus mata-mata Russia, akhirnya gue menemukan sebuah celah yang mungkin bisa menjadi salah satu pertimbangan admin redaksi Opini Kompas itu sendiri untuk mengembalikan opini gue. Hal yang membuat tulisan gue dikembalikan mungkin bukan karena tulisan ataupun topiknya, tapi mungkin karena.... profesi. Setelah diselidiki lebih lanjut, orang-orang yang tulisannya diterbitkan itu rata-rata orang-orang yang memang profesinya berkredibiltas. Dosen UGM, wakil DPD, Sejarahwan Lippi, dan yang ngeri-ngeri lainnya. Mungkin, semakin tinggi jabatan maka intelektualitas dari opini akan terlihat semakin matang. Dan profesi mereka sendiri akan dipublikasikan di akhir dari tulisan mereka. Setelah gue amati lagi lebih lanjut, gue belum menemukan satu pun penulis opini yang jabatannya mahasiswa. Sementara gue, gue selalu mendefinisikan profesi gue sebagai mahasiswa semester 2.
Sejenak, intuisi ini berkata mungkin kalau gue bisa mencari jabatan lain yang cukup berkredibilitas, maka hal tersebut dapat menyita perhatian Bapak/Ibu redaksi. Gue pun mulai berpikir, jabatan apa yang cukup berkredibilitas yang gue punya. Sekitar 3 menit 42 detik kemudian, gue tersadar. Gue sadar kalau gue nggak memiliki jabatan yang cukup berkredibilitas. Sejarahwan? Mungkin dulu gue adalah seorang sejarahwan, yang meneliti dampak kenangan masa lalu terhadap kesehatan orang yang baru ditinggal pasangan. Blogger? terlalu universal. Aktivis keagamaan di UKM kampus? Ciluk ba kekok.
Mungkin akan lebih mudah buat gue kalau gue adalah seorang ketua himpunan di jurusan Hubungan Internasional. Tapi sayangnya gue bukan ketua himpunan, ikut himpunan aja enggak. Namun, entah dari mana datangnya, tiba-tiba muncul ide jenius yang sedikit nyeleneh namun cemerlang di kepala gue. Mungkin gue bukan ketua himpunan, tapi bukan berarti gue nggak bisa jadi ketua himpunan. Himpunan komunitas itu kan definisinya kumpulan atas dasar kesamaan, gimana kalau gue membentuk himpunan sendiri? Terus gue jadi ketuanya, deh. Karena untuk membuat himpunan di universitas harus ngurus legalitasnya sendiri, gimana kalau gue bikin himpunan skala regional? Skala komplek rumah, maksudnya. Anggotanya temen-temen gue, ketuanya gue.
Agar lebih berkredibilitas, himpunannya gue buat himpunan mahasiswa jurnalis biar keliatannya concern di dunia penulisan. Dan karena gue tinggal di Jelambar, maka himpunan mahasiswa jurnalis ini akan diberi nama Himpunan Jurnalis Mahasiswa Jelambar. Ini semua demi nilai..
Capcus...
Capcus...
0 Comments