ADA BANYAK HAL tidak biasa dari negara Jepang yang membuat penulis bertanya-tanya kepada diri sendiri, hingga pada akhirnya hal-hal tersebut melalui rahim anomali melahirkan gelengan-gelengan kepala. Contohnya, tingkat disiplin yang agak brutal, tingkat kriminal seksual yang sangat rendah padahal merupakan negara dengan industri film porno terbesar di dunia, atau 'hal-hal aneh' lain yang hanya dimiliki Jepang dan tidak dimiliki oleh negara lain yang pada akhirnya membuat penulis bertanya-tanya: Apakah benar ini bangsa yang pernah menjajah dan mengaku saudara tua?
Bagaimanapun, Jepang memang selalu menjadi anomali. Budaya, etos kerja, sistem pendidikan, dan segala hal yang dimilikinya mampu melahirkan inovasi-inovasi yang sangat visioner bagi dunia. Salah satu cerita menarik hadir di awal tahun 2016, kala stasiun kereta Kami-Shirataki yang beroperasi di Hokkaido, dari desa terpencil ke kota, tetap beroperasi meskipun hanya mengantarkan satu orang saja setiap harinya selama 3 tahun. Orang tersebut adalah siswi SMA bernama Kana Harada.
Stasiun yang sangat sepi tersebut batal ditutup pada tahun 2012 ketika pihak pengelola mengetahui ada seorang gadis yang selalu menggunakan layanan mereka setiap hari untuk bisa sampai ke sekolah. Kereta yang menempuh jarak 80 km itu pun akhirnya tetap beroperasi, dari 2013 sampai pada 2016 ketika Kana lulus sekolah. Jadwal operasi kereta pun disesuaikan dengan jadwal libur dan sekolah Kana. Terdengar seperti kisah anime mungkin? Ya, mungkin, tapi kisah ini bukan kisah anime melainkan sebuah realita.
Lagi dan lagi, rasanya tanda tanya tidak pernah berhenti terbentuk ketika membaca ataupun mendengar cerita tentang Jepang. Bagaimana bisa perusahaan kereta api yang seharusnya memikirkan 'revenue' memutuskan untuk mengantar 1 orang saja selama 3 tahun? Bukankah perusahaan tersebut justru rugi dalam biaya operasional? Mengapa bisa pihak yang tidak ada sangkut pautnya pada dunia pendidikan seperti perusahaan kereta api sebegitu pedulinya terhadap pendidikan seorang siswi yang bahkan tidak mereka kenal? Kalian memang hebat, saudara tua!
![]() |
seperti di rumah sendiri ya, sis |
Beberapa tahun lalu, potret beberapa anak SD di Indonesia yang setiap hari harus menempuh jembatan miring yang rusak dan berbahaya agar bisa sampai di sekolah sempat viral. Juga, kisah tentang seorang ayah yang setiap harinya mengantarkan putrinya ke sekolah melewati sungai dengan cara berjalan melewati sungai dan 'memasukkan' putrinya ke dalam plastik agar tidak basah. Ada sangat banyak kisah heroik anak-anak di Indonesia dalam perjalanannya sehari-hari untuk dapat bersekolah, namun Jepang menawarkan kisah heroik lain yang tidak biasa. Kisah heroik tersebut berfokus pada sebuah kisah perjuangan dimana fundamental perjuangan tersebut bukan dari anak itu sendiri, atau perjuangan dari anggota keluarga, namun perjuangan tersebut hadir dari pihak perusahaan kereta api yang bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan anak tersebut. saya bangga pada kalian, saudara tua!
Kendaraan Itu Bernama Integritas
Mungkin hanya sedikit orang di dunia ini yang pernah 'private' menumpang kereta api. Miliuner yang menyewa kereta api, ataupun tim pembuat film yang membutuhkan adegan diatas kereta api, mungkin. Namun Kana Harada berbeda, ia hanya seorang gadis yang tinggal di daerah terpencil namun diberikan fasilitas untuk menggunakan kereta api secara private selama 3 tahun bahkan jadwal kereta api tersebut bergantung kepada jadwal sekolahnya sendiri. Bagaimana pemerintah Jepang bisa sepeduli itu dengan pendidikan? Afeksi yang lahir dalam kasus ini mungkin terdengar sedikit tidak masuk akal, namun, hei, bukankah Jepang memang selalu seperti itu? Seperti anomali yang mengagumkan.
Integritas yang terlalu hebat adalah satu-satunya alasan yang masuk akal mengapa pemerintah Jepang bersedia untuk memberikan fasilitas kereta api pribadi bagi seorang siswi dari daerah terpencil selama 3 tahun. Integrtas tersebut merangkul banyak nilai, entah moral, entah wibawa, entah kepedulian pada sistem pendidikan, ataupun harapan. Secara eksplisit, kereta api adalah kendaraan pribadi yang dinaiki Kana selama 3 tahun namun secara implisit, kendaraan tersebut bernama integritas. Integritas pemerintah Jepang yang terlalu hebat dan mengagumkan.
Integritas yang terlalu hebat adalah satu-satunya alasan yang masuk akal mengapa pemerintah Jepang bersedia untuk memberikan fasilitas kereta api pribadi bagi seorang siswi dari daerah terpencil selama 3 tahun. Integrtas tersebut merangkul banyak nilai, entah moral, entah wibawa, entah kepedulian pada sistem pendidikan, ataupun harapan. Secara eksplisit, kereta api adalah kendaraan pribadi yang dinaiki Kana selama 3 tahun namun secara implisit, kendaraan tersebut bernama integritas. Integritas pemerintah Jepang yang terlalu hebat dan mengagumkan.
Pentingnya Pendidikan
Ada banyak kisah orang sukses yang drop out dari kuliah atau bahkan hanya lulusan sekolah menengah saja, dan sayangnya, kisah-kisah tersebut terdistorsi dan dijadikan instumern yang terlalu impulsif oleh beberapa orang tak bertanggung jawab untuk meniru hal yang sama. Asumsi-asumsi seperti, 'Mark Zuckerberg drop out tapi kaya, kalau begitu nggak masalah kalau dapat nilai jelek atau drop out, toh kuliah tidak menentukan pada akhirnya akan kaya atau enggak'. Ah, asumsi yang sungguh impulsif dan tidak bertanggung jawab. Memang benar pendidikan yang ditempuh tidak akan menentukan, namun bukan berarti sebagai individu kita dapat menjadikan kisah orang sukses yang 'tidak menuntaskan' pendidikannya dengan baik sebagai motivasi untuk melakukan hal yang sama, kan?
Seorang mantan mentri pendidikan yang sedang menjabat sebagai gubernur, Anies Baswedan, pernah berkata kalau 'pendidikan merupakan eskalator pembangunan'. Sayangnya, bukannya berniat sok tahu atau sok membenarkan, namun menurut penulis anaologi tersebut kurang tepat. Pendidikan bukanlah eskalator pendidikan, namun lift bagi pendidikan. Karena sebuah eskalator hanya dapat mengantarkan kita menaiki 1 lantai saja sementara sebuah lift dapat membuat kita menaiki banyak lantai sekaligus. Begitu, pak, hehehe, ngok-ngok.
Berlian dalam pendidikan bukanlah nilai dalam mata pelajaran. Namun berlian dalam pendidikan adalah sebuah 'level interpretasi' yang terasah. Bagaimanapun, level interpretasi merupakan sebuah parameter terbaik dalam menentukan langkah visioner seseorang. Ketika berbicara tentang langkah visioner, maka kita bericara tentang 'jangka panjang', dan semua itu dimulai oleh interpretasi kita sebagai fundamentalnya. Jadi, cukup adil sepertinya jika disimpulkan bahwa pendidikan merupakan fundamental bagi langkah-langkah visioner. Maka angkat topi lah kita terhadap pemerintah Jepang yang benar-benar merangkul peserta didiknya dengan begitu optimal meskipun terdengar kurang masuk akal.
0 Comments