Grab vs GOJEK dan Intervensi Softbank


Tidak ada investor lain di dunia ini yang mencintai industri Ride Hailing lebih dari Masayoshi Son. Melalui gelontoran dana investasi Softbank yang disuntikan ke berbagai macam startup Ride Hailing di dunia, cukup mudah seharusnya bagi kita untuk menyimpulkan jika Masayoshi sudah benar-benar jatuh cinta dengan dunia Ride Hailing ini. Uber, Didi Chuxing, Ola, 99, dan Grab merupakan beberapa startup Ride Hailing di dunia yang telah menikmati lonjakan valuasi hingga mencapai status Unicorn hingga Decacorn berkat suntikan dana tersebut.

Menjadi sangat menarik mengingat bagaimana Softbank tidak hanya memiliki visi investasi jangka panjang di dunia teknologi, namun juga memiliki 'power' yang cukup besar untuk membuat pemilik startup terkait takluk dan mengindahkan keinginan investasinya. Katakan saja Uber dan Didi Chuxing yang dulunya sempat menolak pinangan Softbank, namun dengan sedikit mengancam 'langkah diplomatis' dimana Softbank menegaskan akan menyuntikan dana ke kompetitor Uber dan Didi bila keduanya tidak ingin menerima investasi tersebut. Pada akhirnya keduanya takluk dan kini menjadi startup ride hailing terbesar di dunia dan telah menyandang status Decacorn, Uber di barat dan Didi Chuxing di pasar China.

Nani?!
Pasar Asia Tenggara selanjutnya menjadi pasar yang begitu menarik dan penuh dinamika bagi perseteruan Softbank dan startup Ride Hailing-nya. Mengingat, Asia Tenggara merupakan rumah bagi lebih dari 600 juta jiwa dan perseteruan sengit antara GOJEK dan Grab kian hari kian memanas. Hal menarik kemudian hadir ketika Masayoshi hadir ke Indonesia bersama Anthony Tan selaku pemilik Grab untuk bertemu presiden Jokowi dan jajarannya pada tanggal 29 Agustus 2019 kemarin. Apa yang membuat salah satu 'orang terkaya di jepang dengan harta lebih dari 350 Triliun rupiah' ini datang ke Indonesia dan membuat lini masa saat itu penuh dengan foto dirinya dengan pakaian batiknya?

2019 tentunya benar-benar menjadi tahun yang begitu seru untuk menyaksikan pertarungan antara Grab dan GOJEK dalam menaklukkan pasar Asia Tenggara. Ketika Grab memiliki Mastercard sebagai investornya, GOJEK memiliki Visa sebagai penyuntiknya. Dan ketika GOJEK memiliki Tencent yang merupakan raksasa di industri telekomunikasi asal China, Grab memiliki Softbank di belakangnya yang merupakan raksasa di industri telekomunikasi Jepang. 

GOJEK Kian Perkasa, Grab Tak Ingin Kehilangan Kuasa?


Dengan terus menerus menggemakan diri sebagai Super App, GOJEK melakukan lonjakan besar di tahun 2019 ini dengan melakukan rebranding. Bukan hanya untuk satu unit bisnis, tapi untuk banyak unit bisnisnya. Logo baru, tagline baru, dan masih banyak lagi yang baru. Lalu bagaimana dengan Grab di Indonesia, atau Grab as a Whole di tahun 2019? Apakah logonya tetap ítu-itu'saja? Ketika GOJEK telah menggemakan 'Pasti Ada Jalan' sebagai tagline filosofis mereka, apa tagline dari Grab Indonesia yang cukup mengena untuk terus menerus diingat? Tidak ada. Sayangnya, Grab Indonesia belum memiliki tagline yang cukup menarik untuk kuping orang Indonesia. Dari segi branding dan marketing, tentu penting untuk memiliki tagline yang enak di kuping. So, jadilah cerdikiawan.

Pertemuan Masayoshi dan Anthony Tan dengan beberapa petinggi negara Indonesia berakhir dengan janji Softbank untuk menyuntikan dana segar sebesar US$ 2 Miliar atau setara dengan Rp. 28 triliun yang dimana dana tersebut direncanakan oleh kedua belah pihak untuk mengembangkan infrastruktur digital tanah air. Tidak hanya itu, Grab juga berencana untuk membuat 'rumah' keduanya di Indonesia dan melambungkan valuasi Grab Indonesia hingga menjadi unicorn ke-5 di tanah air. Bagi para cerdikiawan, langkah Softbank dan Grab mungkin cukup mencengangkan, dan membuat perseteruan antara GOJEK dan Grab semakin menegangkan.

Grab tentu tak ingin kehilangan kuasanya untuk pasar Indonesia mengingat Indonesia adalah pasar terbesarnya di Asia Tenggara. Duel GOJEK dan Grab di Indonesia jika dianalogikan mungkin akan sama seperti pemilu presiden yang begitu akbar untuk merebut Indonesia sebagai induk pasar, sementara duel mereka di negara Asia Tenggara lainnya hanya merupakan Pilkada. Dengan rebranding GOJEK di tahun 2019 dan mitra GOJEK yang kian banyak serta solid, Grab tentu tidak ingin takluk dengan keperkasaan GOJEK di Indonesia.  

Membangun Headquarter ke-2 sebagai Langkah Kompetitor Cerdikiawan?



Menjadi menarik kemudian untuk mencermati mengapa Grab memilih untuk membuka headquarter ke-2 nya di Indonesia. Mengingat, Headquarter pertama perusahaan asal Malaysia ini berada di Singapura yang bahkan masih satu kawasan dan sangat dekat dengan Indonesia. Ketika kita menerjemahkan alasan mengapa Grab tidak berekspansi dan membangun headquarter ke emerging market lain seperti India, China, maupun Brazil maka kita akan mendapatkan jawaban yang begitu mudah dimana emerging market tersebut sudah dijamah oleh Didi Chuxing, Ola dan 99 yang seluruhnya memiliki SoftBank sebagai bekingan-nya. 

Lalu, mengapa kantor pusat kedua Grab ada di negara yang masih satu rumpun dan satu kawasan seperti Indonesia? Jawaban paling masuk akalnya kembali ke pasar Indonesia. Parameter permainan perusahaan ride hailing di kawasan Asia Tenggara lagi-lagi ada di Indonesia. Ketika perusahaan ride hailing dapat menaklukkan Indonesia, maka perusaahn tersebut telah mendapatkan blueprint yang sangat kuat untuk berekspansi ke negara selanjutnya di kawasan. Jika kita melihat 'konteks' waktu, headquarter ke-2 Grab di Indonesia dan wacana menjadikan Grab Indonesia sebegai unicorn jelas dimotori oleh GOJEK yang kian eksis dan kian mengancam. Masayoshi Son tentu memiliki visi yang teramat sangat jauh kedepan dan dapat bertindak begitu responsif untuk melindungi investasi utama startup ride hailing-nya di Asia Tenggara.

Jika kita meminjam istilah cerdikiawan ala GOJEK, visi Grab dan Softbank untuk menjadikan Grab Indonesia sebagai Unicorn sesungguhnya merupakan langkah 'çerdikiawan' untuk bertahan dan melawan. Setidaknya, jika Grab memiliki kantor pusat di Indonesia, sang 'tuan rumah' untuk permainan ride hailing di Indonesia bukan hanya GOJEK, namun juga Grab. Ketika Grab telah menjadi tuan rumah lainnya dan telah menjadi entitas unicorn lokal, maka Grab dapat lebih mudah untuk merebut hati pasar Indonesia. Karena bagaimanapun, 'Áplikasi Karya Anak Bangsa' dapat menjadi teknik marketing yang begitu kuat bagi GOJEK untuk merebut hati pasar Indonesia dengan mengatasnamakan nasionalisme.

Pada akhirnya, permainan ride hailing di kawasan Asia Tenggara kedepannya akan sangat seru. Bentuk perseteruannya bukan uniploar, melainkan bipolar dimana GOJEK dan Grab berlomba untuk menjadi hegemoni. GOJEK semakin perkasa, namun Grab senantiasa melakukan manuver dengan visi ratusan tahun Softbank sebagai bekingannya. Free trade tentu dapat kita rasakan sebagai masyarakat Indonesia, keduanya pasti akan berlomba-lomba memberi promo menarik dan memainkan harga. 

Post a Comment

0 Comments