Pagi baru saja menyapa dengan suara alaram yang berdering. Terlepas dari apakah tidur kita nyenyak atau tidak, probabilitas langkah yang akan kita ambil selanjutnya adalah bergerak untuk mematikan alaram tersebut lalu bangun dari tidur. Adegan selanjutnya kemudian sangatlah tak tertebak. Bagi beberapa orang, kopi di pagi hari adalah sebuah penyelamat. Bagi beberapa orang lagi, bergegas untuk mandi lalu sarapan dan beraktifitas adalah langkah yang paling efektif. Namun terlepas dari itu semua, kita tidak bisa memungkiri fakta bahwa membuka gadget dan memeriksa social media masing-masing telah menjadi aktifitas pagi banyak orang seiring dengan transformasi zaman dan budaya. Tak peduli apakah kita ngopi di pagi hari atau langsung mandi dan sarapan, agaknya aktifitas memeriksa Social Media segera setelah kita terbangun dari tidur sudah menjadi budaya yang tak terelakkan lagi.
Mengucek-ngucek mata sambil menguap, lalu scroll, scroll dan scroll. Ya, tidak ada yang salah dari budaya tersebut. Meskipun ada orang-orang yang terlalu adiktif dalam bermain social media, kita tidak dapat menyalahkan budaya social media tersebut. Karena pada akhirnya, yang kurang tepat adalah 'orangnya' yang belum dapat mengendalikan diri. Jika kita dapat mengendalikan diri, untuk apa capek-capek beropini menyalahkan Mark Zuckerberg karena telah menciptakan Instagram yang begitu adiktif dan membuat kita terlalu sering membanding-bandingkan diri dengan orang lain yang bahkan tidak kita kenal?
Coba Mikir Ulang, Siapa yang Salah?
Implikasi negatif Social Media kepada diri kita adalah tanggung jawab kita sendiri. Mau berbicara tentang kesehatan mental dan lain sebagainya, semua kembali ke kemampuan kita dalam konteks kontrol diri. Jika merasa diri terlalu adiktif dengan social media dan keadiktifan itu dirasa kurang baik, bagaimana jika kita menantang diri sendiri untuk melakukan detox atau semacam puasa dalam bersocial media? Pada 2017, saya pernah melakukan petualangan tersebut, dengan tajuk mungkin katakan saja 30 hari tanpa social media. Tanpa Twitter, Facebook, maupun Instagram. Implikasinya luar biasa, ada prespektif yang terubah tentang bagaimana seharusnya kita memberikan border bagi kehidupan digital dan non digital.
Asumsi ngaco saya saat itu adalah beranggapan bahwa sikap adiktif, self comparison, dan dampak negatif lainnya merupakan kesalahan dari budaya Social Media tersebut. Padahal, satu-satunya kesalahan adalah menyalahkan budaya hanya karena sebagai individu saya tidak dapat mengendalikan diri. Tiga puluh hari tanpa Social Media dapat menjadi medium transisi yang cukup ampuh untuk menantang status quo. Coba mikir lagi, siapa yang salah? Siapa yang membiarkan diri untuk tetap berada pada situasi negatif seperti itu? Siapa yang telalu Fear Of Missing Out (FOMO) sampai-sampai takut ketinggalan segala informasi terkini padahal kita bisa tetap mengikuti segalar berita dengan atau tanpa Social media? Pada akhirnya, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akan brmuara ke faktor aktor, bukan budaya.
Fokus Pada Self Development
"Tanpa Social Media, terus ngapain, dong?"
Pertanyaan diatas mungkin merupakan pertanyaan yang akan ditanyakan banyak sekali orang. Biasanya scroll terus, negliat story orang terus, menggibah dengan 2nd account terus, dan sekarang puasa social media, jadi harus ngapain? Kebanyakan orang bahkan tidak menyadari bahwa jawaban untuk pertanyaan tersebut teramat sangat mudah: Explore Yourself. Mengeksplor diri sendiri bisa diartikan dalam artian yang luas. Mengeksplor apa yang kita suka, atau mengeksplor sesuatu yang benar-benar baru. Baca buku, fotografi, Gym, kursus, jurnalistik, lomba, kegiatan sosial lainnya, rasanya terlalu banyak hal yang bisa dieksplor sehingga terlalu mengada-ngada juga tentunya jika kita beralasan nothing to be explored.
Eksplorasi terhadap diri sendiri kemudian menjadi substansi terhadap self development. Ketika kita meninggalkan sebuah budaya lama, lalu fokus ke hal lain entah itu dalam konteks menemukan hal baru atau memperdalam kemampuan yang tidak terpikirkan sebelumya, ada proses yang kemudian akan melahirkan progress disana. Akan ada return di masa depan dengan investasi waktu yang kita lakukan di masa sekarang. Hari ini kita berinvestasi waktu untuk memperdalam atau berkenalan dengan skill tertentu, di masa depan mungkin saja skill tersebut akan membantuk kita dalam berkarir. Sehingga fokus kepada self development selagi tidak terintervensi oleh Social Media dapat menjadi hal yang cukup menyenangkan untuk dilakukan.
Dibawa Asik Aja Lah
Kita dapat membagi orang yang terlalu adiktif dalam bermain social media ke dalam 2 tipe. Tipe pertama, adalah mereka yang meninggalkan Social Media atas dasar mengendalikan diri. Tipe kedua adalah mereka yang tidak bisa mengendalikan diri dan masih terjebak pada rasa adiktif tersebut. Dalam melakukan petualangan meninggalkan budaya Social Media untuk sementara ini, ada baiknya kita menyikapi hal-hal eksternal dengan sewajarnya saja. Percayalah orang tipe kedua memiliki probabilitsan untuk menganggap apa yang kita lakukan adalah sia-sia. Wajar, karena mereka tidak memiliki insight tentang positifnya implikasi dari puasa Social Media. Menjadi persoalan kemudian jika kita melawan 'kuranganya wawasan' dengan perdebatan yang tidak penting.
Dibawa asik aja, lah. Menantang diri sendiri untuk lepas dari cengkraman adiktif Social Media adalah sebuah pilihan. Tentu tidak semua orang harus melakukannya, namun bisa menjadi referensi yang cukup efektif untuk memerangi dampak negatif dari social media tersebut. Melakukannya tidak membuat kita salah, tidak melakukannya juga tidak membuat kita salah. Karena kembali lagi, melepaskan diri dari social media harusnya menjadi pilihan diri sendiri.
Mengucek-ngucek mata sambil menguap, lalu scroll, scroll dan scroll. Ya, tidak ada yang salah dari budaya tersebut. Meskipun ada orang-orang yang terlalu adiktif dalam bermain social media, kita tidak dapat menyalahkan budaya social media tersebut. Karena pada akhirnya, yang kurang tepat adalah 'orangnya' yang belum dapat mengendalikan diri. Jika kita dapat mengendalikan diri, untuk apa capek-capek beropini menyalahkan Mark Zuckerberg karena telah menciptakan Instagram yang begitu adiktif dan membuat kita terlalu sering membanding-bandingkan diri dengan orang lain yang bahkan tidak kita kenal?
Coba Mikir Ulang, Siapa yang Salah?
Implikasi negatif Social Media kepada diri kita adalah tanggung jawab kita sendiri. Mau berbicara tentang kesehatan mental dan lain sebagainya, semua kembali ke kemampuan kita dalam konteks kontrol diri. Jika merasa diri terlalu adiktif dengan social media dan keadiktifan itu dirasa kurang baik, bagaimana jika kita menantang diri sendiri untuk melakukan detox atau semacam puasa dalam bersocial media? Pada 2017, saya pernah melakukan petualangan tersebut, dengan tajuk mungkin katakan saja 30 hari tanpa social media. Tanpa Twitter, Facebook, maupun Instagram. Implikasinya luar biasa, ada prespektif yang terubah tentang bagaimana seharusnya kita memberikan border bagi kehidupan digital dan non digital.
Asumsi ngaco saya saat itu adalah beranggapan bahwa sikap adiktif, self comparison, dan dampak negatif lainnya merupakan kesalahan dari budaya Social Media tersebut. Padahal, satu-satunya kesalahan adalah menyalahkan budaya hanya karena sebagai individu saya tidak dapat mengendalikan diri. Tiga puluh hari tanpa Social Media dapat menjadi medium transisi yang cukup ampuh untuk menantang status quo. Coba mikir lagi, siapa yang salah? Siapa yang membiarkan diri untuk tetap berada pada situasi negatif seperti itu? Siapa yang telalu Fear Of Missing Out (FOMO) sampai-sampai takut ketinggalan segala informasi terkini padahal kita bisa tetap mengikuti segalar berita dengan atau tanpa Social media? Pada akhirnya, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akan brmuara ke faktor aktor, bukan budaya.
Fokus Pada Self Development
"Tanpa Social Media, terus ngapain, dong?"
Pertanyaan diatas mungkin merupakan pertanyaan yang akan ditanyakan banyak sekali orang. Biasanya scroll terus, negliat story orang terus, menggibah dengan 2nd account terus, dan sekarang puasa social media, jadi harus ngapain? Kebanyakan orang bahkan tidak menyadari bahwa jawaban untuk pertanyaan tersebut teramat sangat mudah: Explore Yourself. Mengeksplor diri sendiri bisa diartikan dalam artian yang luas. Mengeksplor apa yang kita suka, atau mengeksplor sesuatu yang benar-benar baru. Baca buku, fotografi, Gym, kursus, jurnalistik, lomba, kegiatan sosial lainnya, rasanya terlalu banyak hal yang bisa dieksplor sehingga terlalu mengada-ngada juga tentunya jika kita beralasan nothing to be explored.
Eksplorasi terhadap diri sendiri kemudian menjadi substansi terhadap self development. Ketika kita meninggalkan sebuah budaya lama, lalu fokus ke hal lain entah itu dalam konteks menemukan hal baru atau memperdalam kemampuan yang tidak terpikirkan sebelumya, ada proses yang kemudian akan melahirkan progress disana. Akan ada return di masa depan dengan investasi waktu yang kita lakukan di masa sekarang. Hari ini kita berinvestasi waktu untuk memperdalam atau berkenalan dengan skill tertentu, di masa depan mungkin saja skill tersebut akan membantuk kita dalam berkarir. Sehingga fokus kepada self development selagi tidak terintervensi oleh Social Media dapat menjadi hal yang cukup menyenangkan untuk dilakukan.
Dibawa Asik Aja Lah
Kita dapat membagi orang yang terlalu adiktif dalam bermain social media ke dalam 2 tipe. Tipe pertama, adalah mereka yang meninggalkan Social Media atas dasar mengendalikan diri. Tipe kedua adalah mereka yang tidak bisa mengendalikan diri dan masih terjebak pada rasa adiktif tersebut. Dalam melakukan petualangan meninggalkan budaya Social Media untuk sementara ini, ada baiknya kita menyikapi hal-hal eksternal dengan sewajarnya saja. Percayalah orang tipe kedua memiliki probabilitsan untuk menganggap apa yang kita lakukan adalah sia-sia. Wajar, karena mereka tidak memiliki insight tentang positifnya implikasi dari puasa Social Media. Menjadi persoalan kemudian jika kita melawan 'kuranganya wawasan' dengan perdebatan yang tidak penting.
Dibawa asik aja, lah. Menantang diri sendiri untuk lepas dari cengkraman adiktif Social Media adalah sebuah pilihan. Tentu tidak semua orang harus melakukannya, namun bisa menjadi referensi yang cukup efektif untuk memerangi dampak negatif dari social media tersebut. Melakukannya tidak membuat kita salah, tidak melakukannya juga tidak membuat kita salah. Karena kembali lagi, melepaskan diri dari social media harusnya menjadi pilihan diri sendiri.
*Dalam memutuskan apakah berpuasa social media itu perlu atau tidak, seringkali terjadi perdebatan batin untuk meyakinkan diri. Opini dari menteri pendidikan yang merupakan Founder GOJEK, Nadiem Makarim, yang sempat berpuasa social media bahkan sampai lebih dari 2 tahun berikut mungkin bisa menjadi referensi. Dalam wawancaranya dengan Dedy Corbuzier, Nadiem menceritakan sebuah point of view yang teramat sangat menarik. Saksikan video dimulai dari menit ke-11:
0 Comments