Ada banyak orang yang dalam hidupnya mereka sadar terjebak pada toxic relationship namun memilih bertahan dalam circle toxic tersebut hingga akhirnya membusuk sendiri dengan segala macam perasaan insecurity dan overthinking yang sebenarnya tidak perlu. Padahal, konsep kehidupan minimalisme bisa menjadi salah satu solusi sederhana untuk berperang melawan jebakan toxic relationship. Seperti, konsep kehidupan minimalis ala Marie Kondo: If it doesn't spark joy, say thank you, and goodbye (get rid of it).
Beberapa hari yang lalu, saya merewatched sebuah film tentang gaya hidup minimalisme berjudul Happy Old Year (2019). Setelah menonton film tersebut untuk kedua kalinya, saya baru sadar kalau film ini memiliki esensi yang sangat kuat dan point of view yang sangat luas. Pada satu sisi, karakter utama dihadapkan pada kondsi dimana ia harus membuang barang dan bahkan orang yang sulit direlakannya untuk dibuang padahal harus dibuang. Di sisi lain, karakter utama juga merupakan 'korban' yang dibuang oleh sosok yang tidak ingin dia tinggalkan, yaitu ayahnya. Namun pada akhirnya, merelakan merupakan jalan untuk mencapai ketenangan batin.
Ketika kita merasa terjebak dalam circle toxic yang tidak memberikan ketenangan batin dan kebahagiaan (spark joy) sejatinya hal yang perlu dilakukan sesederhana mengucapkan terima kasih karena circle tersebut pernah menjadi bagian dari kehidupan kita dan.. get rid of it. Sayangnya kebanyakan orang hanya berani melakukan unfriend di dunia maya, tapi tidak berani melakukan unfriend di dunia nyata. Padahal, tidak lagi mengikuti bukan berarti bermusuhan, melainkan sesederhana kita tidak lagi mengikuti dan bersikap bodo amat dengan kabar atau situasi terkini individu atau circle terkait.
Ketenangan Batin Itu Mahal Harganya
Ketenangan batin itu mahal harganya. Ada banyak waktu yang dibuang untuk dealing dengan overthinking yang tidak perlu. Ada banyak rasa cemas yang dibuang untuk berhadapan dengan rasa insecure. Ada banyak emosi yang terpendam untuk bisa memaafkan masa lalu. Hingga akhirnya, kita sampai pada titik ketenangan batin, titik dimana kita bisa berdamai dengan diri sendiri.
Sayangnya, masih banyak orang yang mengorbankan ketenangan batinnya hanya karena tidak berani keluar dari circle bercaunnya. Tidak ada determinasi, tidak ada aksi, meskipun sudah mengetahui jika menginggalkan adalah solusi. Semakin tua saya semakin sadar bahwa ketenangan batin memang semakin eksklusif. Beberapa mendapatkannya dari hubungan vertikal, namun sedikit yang bisa menyelaraskannya juga dengan hubungan horizontal. Ketenangan batin itu memang mahal harganya, bung. Seperti halnya hidup minimalis, hal yang paling sulit dari membuang adalah merelakan. Terkadang kita harus berdamai dengan masa lalu untuk bisa berdamai dengan diri sendiri. Masalahnya, berdamai dengan masa lalu mungkin agak sedikit sulit pada praktiknya. Seperti halnya kita dihadapkan pada situasi dimana kita harus membuang barang tak terpakai yang memiliki 'kenangan' tersendiri. Namun bagaimanapun, kenangan tidak akan membuat barang yang sudah tak terpakai itu menjadi bagus lagi dan siap pakai secara tiba-tiba, kan?
Kebanyakan orang merasa enggan untuk meninggalkan karena alasan kenangan. Seperti halnya terjebak dalam toxic relationship, entah relationship dalam konteks pertemanan, asmara, atau apapun itu, kadang seseorang bisa sulit untuk keluar dari toxic relationship dengan dalih sudah banyak melalui cerita dan petualangan bersama. Padahal, seperti konsep membuang barang tidak terpakai tadi, kenangan tidak akan membuat toxic relationship menjadi sehat kembali, kan? Sekali lagi, ketenangan batin itu mahal harganya. Meninggalkan toxic relationship adalah salah satu effort untuk mencapai ketenangan batin. Kita bermain dengan variabel logic, bukan hanya feeling.
Toxic Relationship 101
Perlu diakui, pada realitanya konsep toxic relationship memang sangat 'tricky' karena bisa saja kita menganggap orang lain toxic, atau, kita yang justru dianggap orang lain toxic. Dan apakah setelah meninggalkan toxic circle, kita akan langsung mendapatkan ketenangan batin, atau malah berurusan dengan drama lainnya?
Ada banyak matriks yang bisa kita gunakan untuk menginterpretasi apakah kita terjebak dalam toxic circle. Entah social climbing, hypocrite, anti criticism, dan lain sebagainya. Intinya, kita sudah terjebak dalam toxic circle ketika kita merasa tidak bisa berkembang dalam circle terkait. In a helicopter view, self development menjadi biaya peluang ketika kita terjebak dalam toxic circle. Kualitas dari 'diskusi' pun dapat mendefinisikan dan menjustifikasi apakah circle tersebut dapat diklasifikasikan sebagai toxic circle atau tidak.
Apakah setelah meninggalkan toxic circle maka semua akan baik-baik saja? Mungkin, sepertinya tidak. Ada sebuah kutipan populer menarik tentang toxic people dari Jill Blakeway: When a toxic person can no longer control you, they will try to control how others see you. The misinformation will feel unfair, but stay above it, trusting that other people will eventually see the truth, just like you did. Kutipan tersebut sangat relatable dengan fakta di lapangan. Ketika orang berakal sehat memilih untuk berani meninggalkan toxic person, akan ada hasutan, hasutan dan hasutan dari toxic person terkait untuk memperngaruhi orang-orang disekitarnya tentang orang berakal sehat tersebut. Bagaimanapun, once toxic, always toxic.
Sebagai orang berakal sehat, sudah seharusnya kita memiliki determinasi dalam berhadapan dengan toxic person. Tenang dan bersikap bodo amat dalam menyikapi probabilitas drama yang akan muncul merupakan sebuah kunci. Pada akhirnya, gaya hidup minimalis tidak hanya aplikatif dalam hal membuang barang yang sudah tidak berguna bagi kita, namun juga aplikatif dalam relasi sosial. Seperti halnya yang diajarkan oleh Marie Kondo: if it doesn't spark joy, say thank you, and goodbye.
0 Comments